JURNAL
Perempuan dan Ekologi
Begitu hebatnya kerusakan alam saat ini, air yang kotor, polusi udara karena emisi-emisi industri, gas buang kendaraan bermotor, akibatnya, manusia menderita kerusakan pernafasan, penyakit jantung dan paru-paru serta kanker. Lalu, bagaimana dampaknya pada perempuan? Pencemaran lingkungan telah mengakibatkan kerugian yang besar terhadap perempuan, kelainan kehamilan, endometriosis bahkan air susu ibu pun juga ikut tercemari. Lalu bagaimana perempuan memandang alam? Beberapa pandangan dalam ekofeminisme menuduh bahwa laki-laki lah yang paling banyak berperan dalam pengrusakan alam terutama jika dikaitkan dengan karakter maskulin dan budaya patriarki. Sementara para perempuan lain mengusulkan untuk mengkaji ulang relasi manusia dengan yang non-manusia. Cara berelasi yang feminin, yakni, penuh pengertian, caring dan berperasaan dianggap justru lebih dapat menyelamatkan dunia dari kehancuran ekologi.Eksploitasi berlebih atas Bumi, atas Alam, juga piaraan atas hewan dengan cara-cara tak “manusiawi” (“hewani”) merupakan penanda bagaimana spesies manusia tak lagi mengenal tubuhnya sendiri sebagai salah satu spesies binatang yang tak bisa hidup tanpa mereka. Tubuh manusia, sesehatnya, adalah tubuh yang hidup dalam harmoni dengan alam. Tubuh-tubuh manusia sekarang . berubah menjadi perkakas, menjadi mesin, bagi egonya, yang tak lagi digubris atau diurus oleh akal manusia sendiri untuk hidup alamiah bersama alam, bersama binatang, bersama ekosistem. Dus ada persoalan politis yang masuk dalam kesadaran ekologis manusia ketika itu menyangkut pandangan dunianya. Kesadaran ini tidak bisa dibangun tanpa membangun terlebih dahulu konstruksi alam dan deklarasi kesaling-tergantungan manusia (intra-interdependence). Rekonsiliasi antara manusia dan non manusia dan kekuasaan hegemonik spesies manusia ini sudah terbangun demikian kuat dalam struktur sains modern, dimana ilmu pengetahuan menjadikan alam sebagai “objek penelitian”, kemudian “objek eksploitasi” karena dia menawarkan “kapital”. Pengalaman-pengalaman spiritual atas alam, sensitifitas manusia atas alam, kemudian tak lagi masuk dalam hitungan nomenklatur kebudayaan dari berpengetahuan. Tubuh—sebagai manifestasi tanah—tak lagi bermakna bagi manusia, selain sebagai kapital dan perkakas ego.
JP024 | MJP-2022-0024 | JURNAL UMUM INDONESIA | Available |
No other version available