JURNAL
Sudahkah anggaran kita sensitif gender
Di berbagai negara (lihat hal. 78-83) analisa gender budgeting terbukti menjadi resep manjur dalam rangka memerangi angka kematian ibu melahirkan yang tinggi, tingkat kekerasan domestik, memerangi kebodohan perempuan, dan bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender lainnya. Meski juga menghadapi berbagai tantangan, namun lihat pula bagaimana negara-negara lain mengguna-kan perangkat audit gender guna memastikan seluruh program pemerintahan telah responsif gender.
Lalu bagaimana penerapannya? Ada bebe-rapa prinsip dasar yang perlu dipenuhi. Pemahaman yang menyeluruh tentang perma-salahan yang khas perem-puan dan laki-laki men-jadi keharusan. Trans-paransi anggaran, juga tekad yang kuat untuk mendengarkan kebutuhan perempuan dan anak sebagai kelompok rentan, juga menjadi hal yang mutlak hingga di tingkat pemerintahan lokal.
Gender Budgeting bisa dilakukan dengan berbagai cara, ada yang tidak memiliki budget khusus untuk pemberdayaan perempuan, namun mereka sudah memastikan bahwa anggaran yang responsif gender sudah terintegrasi dalam keseluruhan jenis anggaran melalui alat analisa gender budgeting maupun audit gender.
Selanjutnya bagaimana implementasinya di Indonesia? Biasanya pemerintah pusat maupun daerah merasa sudah menunaikan kewajibannya untuk menyisihkan budget bagi pemberdayaan perempuan jika sudah memasukkan komponen pendanaan bagi PKK, Majlis Ta’lim dan Dharma Wanita. Padahal kenyataannya, komponen-komponen tersebut belumlah cukup guna memerangi ketidakadilan gender dalam masyarakat lokal (hal.92).
Sementara itu jika ditelisik lagi, di semua anggaran pemerintah lokal dan pusat di Indonesia, ternyata gender budgeting belum terintegrasi. Kenyataannya alokasi anggaran di berbagai daerah, masih sangat jauh dibawah biaya renovasi gedung atau uang jalan pejabat misalnya. Di beberapa daerah anggaran yang tidak responsif gender bahkan mencapai 99 % (hal.46). Lain lagi satu kasus di salah satu kabupaten di Kalimantan, anggaran pemberdayaan perempuan saking kecilnya, akhirnya implementasinya nol.
Hambatan yang lain lagi adalah keterlibatan perempuan yang sangat minim dalam panitia anggaran bahkan di tingkat yang paling terkecil sekalipun yakni desa. Umumnya perempuan enggan bergabung karena akan dianggap ‘aneh’. Atau bila berkecimpung dalam pengambilan keputusan, mereka tidak diperbolehkan bicara, atau ketika mereka akhirnya berhasil menyampaikan, aspirasi mereka hanya ditampung saja(lihat hambatan internal dan eksternal, hal.40).
Maka tak heran jika Indonesia selalu menempati urutan terendah dalam gender develeopment index (GDI) dari negara-negara tetangga di ASEAN, urutan tertinggi dalam tingkat kematian ibu melahirkan, anjloknya tingkat partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan dan angkatan kerja, serta tidak kunjung terlepas dari masalah busung lapar. Dan ini semua bersumber dari rendahnya komitmen para pengambil keputusan untuk mengimplementasikan anggaran yang tanggap gender.
JP007 | MJP-2022-0007 | JURNAL UMUM INDONESIA | Available |
No other version available