JURNAL
Mengapa perempuan menolak
Selain kenaikan bahan bakar minyak, kemiskinan yang semakin merajalela, bencana tsunami dan gempa di wilayah bangsa ini, isu produk hukum juga menjadi tema besar di berbagai media nasional dan bahkan telah menjadi pembicaraan sehari-hari, sampai hari ini. Produk hukum itu bernama rancangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi atau RUU APP. Melalui produk hukum ini sebetulnya kaum perempuan dapat memetakan dirinya (baca: tubuhnya) dalam posisi sosial, yang tak habis dibicarakan sepanjang masa. Bahwa tubuh perempuan selalu diletakkan atau dikembalikan pada dua wilayah yang sama-sama tidak menguntungkan. Yaitu wilayah sakral dan wilayah profan yang saling bertentangan. Wilayah sakral adalah yang disucikan dan wilayah profan adalah wilayah yang dianggap kotor. Dalam wilayah sakral, tubuh perempuan harus diagungkan, disucikan, dengan cara ditutup rapat-rapat, dihindarkan dari sentuhan sosial, dihadapkan pada tembok domestik. Di wilayah ini pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan bukan salah pelaku pelecehan dan kekerasan seksual, melainkan adalah kesalahan perempuan sendiri. Bagi wilayah ini perempuan harus dihukum karena tidak mau tunduk untuk tetap menghadap tembok domestik, bila perempuan tidak mau tunduk, akibatnya adalah mereka dilecehkan dan dihina di lingkungan sosial dan dilecehkan secara seksual. Inilah penolakan yang dimaksud oleh kalangan perempuan bahwa produk hukum tersebut akan menjempit perempuan dalam dua wilayah yang membuat mereka – untuk kesekian kalinya – diperlakukan diskrimi-natif. Pornografi sudah menjadi persoalan lama atas pendehumanisasian tubuh perempuan, dan perempuan berjuang keras untuk memberan-tasnya. Tetapi RUU APP adalah pendehumanisasian yang sama dalam bentuk yang berbeda, yang alih-alih melindungi perempuan, yang terjadi malah sebaliknya.
JP008 | MJP-2022-0008 | JURNAL UMUM INDONESIA | Available |
No other version available