JURNAL
Sejauh mana komitmen negara?
Tepatnya 25 tahun yang lalu di markas besar PBB, Indonesia meratifikasi CEDAW (Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) dan mengimplemen-tasikannya lewat UU No. 7 tahun 1984. Apa hasil dari perjalanan CEDAW selama lebih dari 20 tahun di republik ini? Hanya segelintir orang yang tahu dan menjalankannya. Selebihnya, mendengar kata CEDAWpun hanya terbengong-bengong. Nasib perempuan pun hampir tak mengalami perubahan. Hebatnya lagi, selain CEDAW, sebenarnya telah banyak instrumen internasional lainnya yang bicara soal hak dan nasib perempuan, antara lain Konvensi Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi (1949), Konvensi 100 ILO tentang Persamaan Pendapatan (1951), Konvensi tentang Hak Politik Perempuan (1952), Konvensi mengenai Kewarganegaraan Perempuan yang Menikah (1957), Konvensi mengenai Ijin Perkawinan, Usia Minimum Perkawinan dan Pencatatan Perkawinan (1962), Deklarasi Perlindungan Perempuan dan Anak-anak dalam situasi Darurat dan Konflik Bersenjata (1974), ICPD di Kairo dengan fokus kesehatan reproduksi perempuan (1994), Beijing Platform untuk melihat perkembangan isu perempuan di berbagai bidang misalnya: kesehatan, kemiskinan, media, di wilayah konflik, dan lainnya (1995), Deklarasi tentang Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang antara lain menyepakati nilai kesetaraan gender guna mencapainya (2000), serta Resolusi 1325 dari Dewan Keamanan PBB tentang dampak konflik bagi perempuan, tentang perlin-dungan perempuan dan anak di wilayah konflik dan apa yang dapat dilakukan perempuan untuk mewujudkan per-damaian (2000). Delegasi Indonesia juga tak kalah sibuk mondar-mandir ikut kongres guna mengucap sepakat dengan segala komitmen internasional ini. Namun malang bagi PBB dan terlebih untuk perempuan, banyak negara (tidak hanya Indonesia), masih gemar menjadi macan kertas konvensi. Dalam pelaksanaan justru banyak hal yang bertolak belakang. Simak isi konvensi CEDAW yang disisipkan di Jurnal Perempuan kali ini, dalam pasal yang sangat penting yakni 2 poin 5 CEDAW: mewajibkan negara untuk membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah dan meng-hapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap perempuan. Dari contoh ini, amatlah jelas, alih-alih menegakkan hak perempuan, Indonesia dengan segala perangkat hukumnya justru menganggap perempuan angin lalu. Tak heran bila angka kematian ibu melahirkan serta angka kekerasan terhadap perempuan di ruang domestik dan publik justru kian membumbung tinggi. Ketidakseriusan negara dalam menerapkan CEDAW masih ditambah lagi dengan tercetaknya berbagai peraturan daerah (Perda) dan aneka rancangan undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan termasuk RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sebentar lagi bakal disahkan. Padahal dalam CEDAW jelas dikemukakan bahwa setiap produk perundang-undangan dan tata aturan haruslah dikaji secara mendalam guna menghindari praktik diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Maka tak berlebihan kiranya jika Sekjen PBB Kofi Annan, pada konferensi PBB di awal tahun 2005 yang lalu mengawali peringatan 10 tahun Beijing Platform dengan nada pesimis; �Millenium Development Goal tidak akan pernah berarti apa-apa jika masing-masing negara tidak abai pada 12 bidang kritis yang sudah dicanangkan oleh Beijing Platform�. Yang ini berarti pula bahwa selama ini CEDAW sebagai batu penjurunya telah dibiarkan merana tanpa ada yang serius men-jalankannya. Meski hasil evaluasi tiap lima tahun CEDAW selalu menggambarkan tiadanya kemajuan, bagaimanapun kita masih butuh sikap optimis di balik semua kepedihan itu. Dan karenanya tak berlebihan pula kiranya jika dalam rangka memperingati hari perempuan internasional 8 Maret kali ini CEDAW kembali didengung-dengungkan serta dikupas dengan lebih tegas, agar bangsa ini tak lagi mundur ke belakang.
JP006 | MJP-2022-0006 | JURNAL UMUM INDONESIA | Available |
No other version available